PURA JAGATNATHA: PESONA SPIRITUAL DI TITIK NOL KOTA DENPASAR

Beretorika
4 min readOct 27, 2023

--

1007 perempuan menarikan tari Rejang Sruti Witala/Foto pribadi

1007 perempuan menarikan tari Rejang Sruti Witala di depan Pura Agung Jagatnatha, Denpasar pada hari kamis, tanggal 26 Oktober 2023 kemarin. Ini merupakan serangkaian upacara pemelaspasan dan pecaruan Pura Agung Jagatnatha yang sebelumnya telah menjalani proses pembangunan dan pemugaran di beberapa areal pura (Balipost.com, 2023). Adapun beberapa areal yang dilakukan pemugaran adalah penyengker atau tembok pura, kori agung dan dibangun beberapa pelinggih tambahan di dalamnya dengan arsitektur gaya bebadungan khas Kota Denpasar. Pembangunan yang dilakukan menggunakan bata merah Tulikup kualitas 1 berwarna merah sesuai dengan simbol Dewa Brahma dan dengan rangka baja berukuran besar karena dicita-citakan Pura Jagatnatha bisa kokoh berdiri hingga 100 tahun mendatang (Supartika, 2023). Bagian Padmasana dibiarkan seperti semula karena memiliki nilai historis yang tinggi. Namun sangat disayangkan tidak banyak yang mengetahui tentang nilai dari Pura Agung Jagatnatha ini.

Melansir dari website resmi Pemerintah Kota Denpasar, Pura ini mulai dibangun pada tahun 1965 dan rampung pada tahun 1968. Peristiwa gerakan 30 September oleh Partai Komunis yang bergejolak di masyarakat pada masa itu mewarnai proses pembangunan yang membuat pembangunan menjadi terhambat. Yang membuat Pura Jagatnatha ini unik adalah pengelolaannya tidak dilakukan oleh pengempon Pura atau kelompok masyarakat, melainkan hanya beberapa orang individu (Denpasarkota.go.id, 2019).

Menelisik lebih jauh lagi, pembanguna Pura Jagatnatha merupakan salah satu bukti untuk memperkuat Agama Hindu mendapatkan pengakuan sebagai agama di Indonesia. Pada tahun 1950an, Kementrian Agama Republik Indonesia (KARI) menentukan syarat suatu keyakinan yang tumbuh di masyarakat masuk dalam kategori agama adalah kepercayaan monotheisme (memuja satu tuhan), memiliki kitab dan juga nabi. Pada masa itu masih banyak umat Hindu yang meyakini bahwa Hindu itu menyembah banyak Tuhan (politheisme), dimana Ida Sang Hyang Widhi digambarkan sebagai raja yang memiliki bawahan Dewa-Dewa lainnya. Meskipun konsep Tuhan sebagai Sang Hyang Tunggal sudah mulai dikenal pada tahun 1930an, namun realisasinya dalam suatu kesatuan masyarakat masih belum ada (Wijaya, 2015, pp. 399–400, 409).

Pada masa 1950an masyarakat Hindu Bali, terutama golongan intelektualnya mengupayakan agar Agama Hindu dapat diakui sebagai agama di Indonesia, bukannya aliran kepercayaan. Mulailah dikenal konsep Sang Hyang Widhi sebagai satu-satunya Tuhan dalam Agama Hindu dan bermanifestasi menjadi berbagai wujud. Argumentasi terkait dengan pemujaan agama Hindu disampaikan oleh Pedanda Made Kemenuh bahwa Agama Hindu Bali memiliki syahadah yang disebut sebagai Pacaradan (lambang) yaitu Aum Tat Sat Ekawadwitiyam yang artinya Sang Hyang Widhi Maha Sempurna, hanya satu tidak ada duanya. Agama Hindu juga memiliki seorang nabi, yaitu Bhagawan Viasa, putra dari Bhagawan Parasara dan Dewi Setiawati. Juga memiliki kitab sucinya yaitu Sarasamuscaya, yang berisikan ajaran Asta Dasa Parwa. Berkat upaya dari intelektual Hindu Bali, tuntutan-tuntutan terkait Agama Hindu disepakati oleh Presiden Soekarno, Agama Hindu diakui sebagai salah satu agama di Indonesia. Kemudian dibentuklah perkumpulan pemuka Agama Hindu di Bali yang bernama Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB) yang kini berubah menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Berkat keputusan dari PHDI pada masa itulah dibangun Pura Agung Jagatnatha yang ditujukan bagi pendatang, yang merupakan Pura Pemujaan bagi Sang Hyang Widhi secara langsung sebagai satu-satunya Tuhan yang dipuja dalam Agama Hindu, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa (Wijaya, 2015, p. 406).

Bangunan Padmasana yang dibiarkan karena memiliki nilai historis tinggi/Foto Pribadi

Begitulah latar belakang berdirinya Pura Agung Jagatnatha, sebagai Pura tempat mengaturkan bakti untuk Ida Sang Hyang Widhi oleh siapapun yang ingin melakukannya, bahkan pendatang dari tanah paling jauh sekalipun. Sebagai salah satu tempat beribadah yang memperkuat eksistensi Agama Hindu Bali di Indonesia, Pura Jagatnatha menambah nilai berharga pada Titik Nol Kota Denpasar. Lapangan Puputan Badung yang dulunya merupakan saksi bisu peristiwa kelam masyarakat Denpasar melawan penjajahan Belanda, menjelma menjadi tempat rekreasi dan melepas penat masyarakat serta sebagai sarana berolahraga. Di sebelah Pura terdapat Museum Bali, menyimpan koleksi kebudayaan seluruh daerah Bali dari masa ke masa. Berdekatan juga dengan Pasar Badung, Pasar Kumbasari dan kawasan heritage Gajah Mada, membuat Titik Nol Kota Denpasar menjadi tempat strategis yang sudah dimanfaatkan pemerintah, salah satunya melalui pelaksanaan event Denpasar Festival yang diselenggarakan setiap akhir tahun.

Harapannya pembangunan yang dilaksanakan di Pura Agung Jagatnatha dapat menyorot kembali perhatian seluruh pihak terhadap salah satu pesona kota Denpasar, Pura Agung Jagatnatha dengan pesona historis-spiritualnya, dan secara umum Titik Nol Kota Denpasar dengan berbagai daya tarik lainnya.

Bagian depan Pura Agung Jagatnatha, Denpasar/Foto Pribadi
Pintu masuk Pura Jagatnatha/Foto Pribadi

--

--

Beretorika
Beretorika

Written by Beretorika

Not a big things that i want to write, just my opinion about anything around me. Hope you would to give me your opinion to complete my partially perspective.

No responses yet