DILEMA KLASIK PULAU DEWATA: BUDAYA, PERTANIAN ATAU PARIWISATA?

Beretorika
3 min readMay 11, 2023

--

Picture By: freepik.com/@raoulbunda

“Idealisme boleh berkata apa saja, tapi bagaimana dengan realita?” Saya kira ini merupakan pokok permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat idealis-pragmatis Bali, atau saya lebih suka menyebutnya “idealis neko-neko”, yang terus berteriak “Jangan sampai orang asing merusak budaya Bali!” dan “jangan biarkan tanah pertanian dialih fungsikan menjadi villa!” tapi tanpa sadar turut terhanyut dalam gemah ripah pariwisata. Yang menjadi permasalahan di sini adalah kita yang memandang budaya, pertanian dan pariwisata pada kedudukan yang kurang tepat, yang akhirnya membuat kita salah menanggapi realita Bali kontemporer ini. Lantas bagaimana sepatutnya kita sebagai masyarakat Bali perlu menempatkan ketiga sektor krusial tersebut?

Pertama perlu kita pahami bahwa pertanian dan budaya merupakan satu kesatuan, terutama di Bali. Budaya merupakan buah pikir dari manusia yang terkristaliasi di masyarakat kemudian menjadi bagian hidup, dan pertanian merupakan bagian di dalamnya. Kita tau berdasarkan sejarah umum manusia setelah tahap berburu makanan mulai memasuki tahapan beternak dan bercocok tanam. Hal ini membudaya hingga ke zaman modern, dimana beberapa daerah seperti Indonesia, khususnya Bali masih menerapkan itu sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan budaya air di Bali menghasilkan sistem subak yang merupakan bukti kemajuan peradaban Bali pada abad ke-9. Subak bukan hanya sekedar sistem irigasi pertanian, namun juga organisasi sosial dan budaya yang bersifat teologis, untuk memuja Dewi Sri atau Dewi Uma. Dan dengan demikian kita dapat memahami bahwa pertanian bagi masyarakat Bali bukan sekedar sektor pemenuhan kebutuhan pangan, melainkan kebudayaan yang berisikan nilai-nilai luhur.

Kedua, pemahaman terkait pariwisata. Banyak orang yang memandang pariwisata sebelah mata karena dianggap dapat mendegradasi nilai budaya dan merusak sumber daya alamnya, terutama bagi mereka yang tidak menggantungkan hidup dari pariwisata. Memang ada benarnya, pariwisata berbasis masa atau mass tourism dapat mengakibatkan masalah yang sudah disebutkan, namun tidak dapat menafikan bahwa pariwisata merupakan penyumbang devisa terbesar ke-2 di Indonesia setelah batu bara. Percayalah pariwisata merupakan suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan, terutama di era mobilitas yang serba mudah ini. Pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang artinya pari=lengkap atau sempurna dan wisata=perjalanan. Secara garis besar pariwisata memiliki arti perjalanan dengan motivasi mencari kesenangan atau kepuasan batin yang mencakup unsur-unsur pendukungnya (atraksi, akses, amenitas dan penyokongnya). Berdasarkan sejarah manusia telah melakukan perjalanan sejak masa hidup secara nomaden. Kemudian semenjak tinggal menetap dan bercocok tanam manusia mulai melakukan perjalanan untuk mengunjungi sanak familinya yang mana perjalanan ini sudah memiliki nilai wisata. Tentunya semakin majunya globalisasi, perjalanan menjadi semakin mudah, dan dengan fenomena leisure time atau waktu luang yang banyak, perjalanan wisata pun tidak terhindarkan. Bahkan negara seperti Korea Utara yang terkenal tertutup saja masih membuka kunjungan wisata bagi masyarakat luar. Maka dari itu, kita dapat memahami bahwa pariwisata merupakan hal yang pasti ada, terutama di Indonesia yang notabene menggantungkan perekonomian padanya.

Lantas sekarang, bagaimana kita harus menyikapi budaya dan pertanian kita dengan sektor pariwisata yang konon dapat merusak budaya dan alam kita? Dunia sendiri telah mencetuskan konsep pembangunan berkelanjutan sejak 3–4 dekade lalu. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development dapat diartikan sebagai pembangunan terhadap seluruh sektor demi memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kesempatan pemenuhan kebutuhan generasi di masa depan. Terkait dengan pelestarian alam, sesuai dengan prinsip itu, pariwisata pun harus mempertimbangkan kesempatan pemenuhan kebutuhan generasi anak-cucu kita dengan cara memfokuskan pembangunan timbal-balik atau berdampak baik bukan hanya bagi manusia namun juga alamnya, dengan cara tata kelola pembangunan yang efektif. Lalu terkait dengan kebudayaannya, kita perlu tau bahwasanya budaya bukanlah dogma agama yang jika dilanggar akan berakibat sanksi neraka, namun sebuah hasil pikiran manusia yang paling baik pada masanya. Jadi budaya seharusnya dapat berubah dan menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Dengan demikian pembangunan untuk mempertahankan budaya haruslah bersifat inklusif pada masyarakat, agar kita tau masyarakat ingin budaya kita dimodifikasi seperti apa. Bersifat kaku pada budaya dan tidak mau beradaptasi malah menyebabkan kemunafikan dan menghasilkan budaya selayaknya cangkang telur kosong, yang luarnya terlihat eksis namun dalamnya tak bermakna. Saya kira pembangunan Bali dengan mengedepankan pariwisata sebagai perekonomian utama dengan landasan budaya dan pertanian bukanlah sebuah idealisme baru. Pemerintah pun sudah membuat regulasi dan prinsip berlandaskan hal tersebut. Seperti visi Pemprov Bali saat ini yaitu “Nangun Sad Kerthi Loka Bali”. Tapi percayalah, di lapangan lebih banyak orang yang hidup untuk makan, bukan sebaliknya makan untuk hidup, sehingga prinsip-prinsip idealis seperti di atas tidak akan dihiraukan. Lantas bagaimana denganmu? Masih punya mimpi untuk Bali yang lebih baik di masa depan atau apa saja yang penting besok bisa makan?

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Beretorika
Beretorika

Written by Beretorika

Not a big things that i want to write, just my opinion about anything around me. Hope you would to give me your opinion to complete my partially perspective.

No responses yet

Write a response